Berbicara tentang Sjahrir, kebijakan diplomasinya di awal
kemerdekaan Indonesia tentu menjadi hal yang sangat identik dengan sosoknya. Keadaan
Indonesia setelah kemerdekaan memanglah belum stabil, dikarenakan ‘perebutan’
kependudukan di Indonesia oleh Belanda yang membonceng sekutu. Proklamasi
Indonesia tidak diakui Belanda dan sekutu dikarenakan Jepang yang kalah dalam
perang idealnya memberikan daerah jajahannya kepada Belanda dan sekutu yang
mengalahkan Jepang. Belanda dan sekutu juga menganggap bahwa kemerdekaan yang
diperoleh Indonesia merupakan kemerdekaan yang diberikan oleh Jepang. Melihat
ini, Sjahrir berpikir perlu adanya kabinet yang non-Jepang murni. Akhirnya
diputuskanlah Sjahrir menjadi pemimpin kabinet pada saat itu. Selama proses
menuju proklamasi, Sjahrir memang tidak pernah berkomunikasi dengan Jepang soal
proklamasi dan benar-benar menunjukan sikap anti Jepang.
Setelah menjadi perdana menteri, Sjahrir menjadi melunak
kepada Belanda dan sekutu, yaitu dengan memberi ruang lebih untuk berunding.
Hal ini banyak ditentang oleh para pejuang lainnya. Bung Tomo, Tan Malaka,
Masyumi, dan PNI menjadi penentang paling keras atas kebijakan-kebijakan yang
dibuatnya. Bantuan beras ke India merupakan kebijakan pertama yang ditentang.
Protes terjadi dikarenakan pada saat itu Indonesia masih sangatlah miskin dan
masih membutuhkan banyak pasokan pangan untuk warga miskin. Kebijakan ini juga
mengudang kemarahan Belanda, dikarenakan blokade ekonomi pada saat itu masih
berlaku.
Namun kebijakan tersebut tidak sekontrofersial
kebijakannya untuk menandatangani Perjanjian Linggarjati dengan Belanda di
Malang pada tanggal 25 Maret 1947. Perjanjian Linggarjati ini dinilai telah
menjual Indonesia secara murah kepada penjajah. Perjanjian Linggarjati
memutuskan bahwa bagian Indonesia hanyalah Jawa, Suamtera dan Madura. Indonesia
juga menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan tergabung dalam UNI Indonesia
Belanda. Penentangan atas Perjanjian Linggarjati terjadi dimana-mana. Hatta
menulis dalam bukunya, ketika Hatta dan Sjahrir ke beberapa kota di Sumatra
untuk memberikan pidato, tidak jarang Sjahrir mendapat celaan dan hinaan dari
masyarakat dan menyebutnya sebagai pengkhianat bangsa.
Jika
dilihat dari satu sisi, mungkin kebijakan-kebijkan Sjahrir terkesan sangatlah
lunak dan seperti tidak berpendirian, padahal dialah yang paling keras
menentang berunding dengan Jepang sebagai penjajah ketika awal menjelang
proklamasi. Namun, tidak padat dipungkiri bahwa kebijakan-kebijakan Sjahrir
yang menekankan kepada diplomasi telah membawa Indonesia ke sisi lain dari
kehidupan sebagai sebuah negara berdaulat. Kebijakan bantuan beras ke India
misalnya, yang secara tidak langsung telah menjadi langkah awal sebagai
pengenalan Indonesia sebagai negara baru yang merdeka kepada dunia
internasional. Setelah bantuannya ke India, Indonesia diundang oleh Jawahalal
Nehru untuk menghadiri Konferensi Asia di New Delhi. Disinilah Sjahrir datang
sebagai wakil dari sebuah negara baru yang telah merdeka dan berdaulat bernama
Negara Indonesia. Setelah dari New Delhi, Sjahrir meneruskan perjalanannya ke
Iran, Mesir, Suriah, Burma dan Singapura untuk memeprluas jaringan dalam rangka
meraih simpati dan dukungan internasional untuk Indonesia.
Sama halnya dengan bantuan beras ke India, Perjanjian
Linggarjati pun telah membawa Indonesia ke sebuah sisi yang baru. Tujuan utama
Sjahrir mengadakan Perjanjian Linggarjati adalah untuk menghentikan
pemberontakan yang terjadi dimana-mana yang telah membawa Indonesia ke dalam
keadaan yang semakin terpuruk. Pemberontakan yang terjadi di banyak daerah
seperti di Semarang dan Surabaya telah menelan begitu banyak korban karena
ketidakseimbangan kekuatan antara Indonesia melawan Belanda dan Inggris. Dengan
adanya Perjanjian Linggarjati, gencatan senjata pun terjadi. Setidaknya, hal
ini memberikan waktu kepada Indonesia untuk mengencangkan tali kekang sebelum
kembali berjuang. Memang, pada akhirnya Perjanjian Linggarjati akhirnya
dilanggar oleh Belanda dengan melakukan agresi militer pada 21 Juli 1947. Agresi
militer tersebut membuat posisi Indonesia semakin terjepit karena Belanda
berhasil menduduki separuh pulau Jawa dan posisi ibukota di Jogjakarta pun
terancam. Sjahrir melihat hal ini sebagai kesempatan untuk membalikan meja dan
merubah keadaan dan membawa hal ini ke sidang internasional PBB. Sjahrir
berpidato di depan sidang PBB dan menyatakan bahwa Belanda telah secara sadar
dan sengaja melanggar Perjanjian Linggarjati. Sidang di Lake Success ini telah
berhasil membuat Indonesia mendapatkan dukungan dari dunia internasional dan
membuat posisi Belanda di dunia internasional semakin terjepit. Sampai akhirnya
Belanda mengakui Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat pada tahun
1949.
Memang jika tidak ada habisnya jika berbicara tentang
sejarah, karena sejarah merupakan hal yang tidak pernah bosan untuk dipelajari
dan selalu menarik melihat fenomena masa lalu dari berbagai sisi, begitupun
dengan Sjahrir, ‘Bung Kecil’ yang sosoknya tidak jarang menuai caci, namun
dalam waktu bersamaan pun telah mengundang banyak decak kagum. Sehingga tidak
heran jika sampai saat ini namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Kota
Leiden, Belanda. Tidak hanya namanya yang abadi, namun sosoknya pun akan
menjadi sosok yang abadi dalam sejarah perjalanan panjang Bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar